PART 7. PERNIKAHAN YANG HAMPA
Ini hampir satu tahun pernikahannya dengan Emma, mantan sekretarisnya. Baron sepertinya menyesal, tapi terlambat. Keputusan dia menikah lagi tanpa pikir panjang, hanya menurutkan nafsu belaka. Baron menghembuskan rokok yang entah ke berapa. Dia sudah menghabiskan empat pak sehari ini. Dicoleknya puntung rokok lalu dibuang sembarangan. Bersama Mia dia telah berhenti merokok, awalnya dia hanya merokok di luar sebelum masuk rumah. Tepat kelahiran anak pertama, Ibrahim Pangestu dia berhenti merokok sama sekali. Karena mereka sepakat babynya tak boleh menghirup asap rokok. Namun dia kembali pada kebiasaan semula merokok di pernikahan ke dua, bahkan Emma pun membiarkannya. Semakin banyak pikiran, semakin menjadi dia merokok. Dia masih terkenang dengan mantan istrinya , Mia. Cinta yang sempurna, pernikahan yang sempurna. Mia setia selalu menjaga hatinya. Meski Mia bekerja dengan banyak cowok, hatinya tetap di rumah. Mia juga tak pernah mengekang dia pergi kemana atau ikut organisasi apa. Mia sangat percaya dengan dirinya, tak pernah mengutak-atik gadget miliknya. Mia tipikal istri yang setia, percaya penuh, dan penuh pengabdian. “Duhhh…! Mengapa aku terseret minuman keras itu!” Rutuknya dalam hati. “Miaaa aku sungguh menyesal! Aku merindukanmu…” desah Baron pelan. Dia menghembuskan asap rokok ke udara membentuk lingkaran-lingkaran abstrak.
“Ngomong apa Mas!” tegur Emma tiba-tiba.
“Eh nggak papa.”
“Tuh kan ngalamun lagi. Aduh Mas! Kenapa puntungnya dibuang sembarangan?” Gerutu Emma sambil memunguti satu persatu dimasukkan asbak.
Baron hanya diam malas.
“Oh ya Mas, malam ini mau makan apa? Aku masakin, Mbok Yem kan pulang kampung.”
“Terserah .” Jawab Baron malas.
“Kok terserah Mas. Biasanya paling semangat kalau aku yang masak. Nasi goreng spesial ya.”
“Terserah.” masih kata yang sama. Baron malas makan, rasanya nggak nafsu makan. Dia merindukan Mia . Emma melenggang ke dapur. Baron kembali ke dalam lamunannya. Bodoh sekali dia cepat-cepat menikah. Sementara Mia masih sendirian, sepertinya juga tidak punya pacar. Kabar Mia belum pacar ini sangat melegakan Baron. Entah dia tak rela Mia bila dimiliki orang lain. Egois emang! Dia pun masih mengikuti sosial media Mia, kegiatan Mia bersama anak buahnya atau Mia saat Me Time. Dia hafal tempat-tempat kesukaan Mia saat Me Time. Dia melihat postingan Mia penuh dengan canda tawa, tampaknya Mia berbahagia dengan kesendiriannya. Tapi Baron yakin, di hati terdalamnya Mia menyembunyikan kepedihan. Baron masih mencintai Mia, busyet makinya sendiri, begitu menyadari dia sudah menikah.
“Mas makanan sudah siap. Ayo makan Mas.”
Baron ditarik menuju meja makan. Dia pun makan dengan malas.
“Mas lagi banyak pekerjaan ya?” selidik Emma. Emma memperhatikan Baron yang hanya mengaduk-ngaduk makanan dari pada menyendok masuk mulut.
“Miaa…” tanpa sadar Baron memanggil atau tepatnya bergumam. Kali ini dia sangat merindukan benar, ingin rasanya bertemu sekedar memandang wajahnya yang menawan. Dia paling suka bentuk rahang dan bibir Mia. Dia sering menggoda jika Mia, keduluan lahir, karena bentuk bibirnya yang seksi itu menjadi trendi tahun 2000an. Seperti bentuk bibir Acha S, Pevita P, atau Cinta Laura. Bibir atas lebih tebal dan maju sedikit, jika tertawa mirip gigi kelinci. Dia sering menggoda, ‘gigi kelinci”.
“Mas kamu masih mengingat Mia ya. Benar kan, aku hanya jadi pelampiasan .” Emma ngambek ngeloyor pergi.
Baron menyadari kesalahannya,” Maaf, Maaf sayang.” Dia meraih tangan Emma, yang keburu pergi ke kamar.
“Duuh… perempuan pake ngambek lagi.” Baron jengkel dengan dirinya sendiri. Kali ini dia harus membujuk dan merayu Emma jika tak ingin perang pecah.