Part 8. RINDU MENGGIGIT
Siang pukul 15.00 wib Kantor Baron telah closingan. Bulan ini pertumbuhan asuransi sangat bagus, adanya pandemi orang semakin sadar akan kesehatan. Kalau dulu orang mesti dibujuk ikut asuransi kesehatan, sekarang orang pada sadar untuk berjaga-jaga. Ada yang satu institusi mendaftarkan semua karyawan, asuransi jiwa. Dengan sendirinya bulan ini target terlampaui. Dengan tersenyum lebar Baron cepat memberesi perkakas, dan rasanya ingin cepat pulang ke rumah. Minum kopi dan makan pisang goreng coklat, rebahan lalu tidur. Kadang dia lupa kalau ini pandemi, sehingga masker terlupakan, dalam benaknya sudah tak ada pandemi. Dalam dasbor tersedia masker cadangan, atau pas habis gampang, belok aja ke minimarket, tinggal ambil dan pilih masker yang dikehendaki.
“Santa tolong email-email yang datang ini dipelajari. Jawabannya tinggal ambil data yang relevan .”
“Siap Pak!”
Merasa sudah tak ada yang perlu dikerjakan atau titip pesan, Baron memberesi meja bergegas pulang. Dia ingin segera mandi air hangat rebahan atau nonton youtube. Paling favorite dia akan stalking medsos Mia atau nonton youtube Aura Official, tentu saja di saat Emma di luar kamar. Jalan pulang rumah Baron melewati kantor Aura yang berada di jalan Pandaran, pusat Kota Semarang. Entah setan mana yang menggerakkan kemudi masuk parkir kantor berlantai tiga itu. Dia masuk begitu saja kantor pribadi Mia, satpam membiarkan karena memang Baron biasa keluar masuk kantor ini. Dia duduk santai di kursi manajer, tampak puas karena Mia masih memajang foto liburan di Nusa Dua. “Pasti Mia belum melupakan aku,” batin Baron. Dia tersenyum-senyum sambil melihat katalog kegiatan event organizer Aura.
“Cukup dulu meetingnya. Christ aku serahkan semua padamu, liputan dan shooting. Jodi kamu jadwalkan meeting untuk penerbitan minggu depan!”
“OK bunda.” Jawab Crist dan Jodi berbarengan.
Mia kembali ke ruang pribadinya, begitu membuka pintu, tengah didapati Baron duduk manis di sofa lobby.
“Kau? Untuk apa ke sini?!” Tanya Mia tajam.
“Rindu..” Jawab Baron santai sambil memegang itu pigura poto.
“Kau tak berhak rinduku. “
“Kau pasti merindukanku. Ayolah ngaku.”
Mia diam. Sibuk menulis buku agenda. Diusahakan pikirannya terfokus untuk menulis rencana jadwal liputan dan shooting minggu depan. Baron beranjak dari sofa, berjalan semena menarik kursi duduk di hadapan Mia.
Mia diam saja cuek. Pikirannya fokus ke pekerjaan. Baron memandangnya penuh insten. Tampaknya ditinggal Mia makin cantik aja. Usianya yang sekarang menunjukkan kecantikan yang sempurna. Baron memajukan punggungnya, tangannya meraih anak rambut kening Mia. Betapa dia rindu benar dengan mantan istrinya.
Mia kaget, sadar,” Barr hentikan!”
“Kenapa? Aku kangen berat sama kamu Dek.” Baron nekat
“Keluar! Aku bilang keluar. Urusan kita sudah selesai.”
“Aku punya hak kantor ini! Ini kantor aku juga May.”
Mia mengambil tas, bergegas ke luar pintu. Baron memang masih punya andil saham 60% Aura. Mia marah dengan sendirinya ingin rasanya dia mencetak uang untuk mengganti posisi saham.
Baron masih senyum-senyum penuh kemenangan. Dia belum ingin pulang, dia masih ingin menikmati ruang favorit ini. Semua benda-benda ini ada jejak-jejak tangan Mia, yang dianggap masih kekasihnya. Dia selalu lupa kalau sudah bercerai. Disentuhnya sofa yang dipastikan sering diduduki Mia, bufet kecil, jendela, dan rak buku favorit Mia. Dia merasakan energi Mia di sini. Bodoh sekali dia meninggalkan Mia. Diam-diam dia berobsesi merebut Mia kembali. Baron tersenyum licik, dia pasti dapatkan Mia kembali, karena dia paling mengenal Mia.
“Min buatin kopi !” Bahkan dia pun masih merasa kuasa di sini dengan menyuruh office boy.
“Siap Tuan.” Jawab Amin di balik minibar belakang.