PART 5. COWOK CUEK DI ATM
Mia mulai bosan dengan rutinitas. Jadwal produksi baru investigasi, reportase, yang semuanya tengah dikerjakan reporter. Mia percaya dengan crew reporter dan fotografer, semua dapat diandalkan. Semuanya bekerja penuh loyal dan dedikasi, bahkan kadang memberi kualitas lebih dari standar tanpa diminta. Dengan sendirinya mereka senang hati mengerjakan tugas secara terbaik menurut versi masing-masing. Makanya Mia membebaskan crew untuk berekspresi dan berkreasi dalam menulis reportase. Mia pingin ke luar lihat suasana kota menjelang sore hari. Kantor penerbitannya berada di jalan Pandanaran kota lumpia. Dia ingin berjalan-jalan menikmati suasana kota dan berpikir bebas dari masalah.
Jodi yang bertemu di pintu lobby menegur,”Kemana bu?”
“Jalan-jalan Jod.”
“Saya temani bund.”
“Nggak usah sengaja jalan -jalan sendiri. Me time!”
“Semoga bertemu malaikat bersayap putih ya Bund!” teriak Jodi becanda.
“Aamiinn!”
Mia berjalan kaki dengan kostum kasual. Celana panjang hitam, tunik polos, dan ransel kecil di punggung. Dia lebih suka nenteng ransel dari pada tas-tas model Gucci atau Prada. Ranselnya pun merek lokal buatan Cibaduyut Bandung. Dengan membawa ransel semua barang masuk: HP, hand sanitizer, tisu, masker, dompet, bedak dann lipstik, serta notes kecil dan bolpen. Dia suka membawa-bawa notes ke mana-mana, untuk membuat catatan begitu ide tulisan mencuat. Begitu ada ide tema laporan utama atau liputan khusus langsung dia coret-coret bikin kerangka pikir. Begitu sampai rumah dia akan menuangkan ke dalam laptop yang setiap hari dibawanya. Setiap ada ide keluar, jangan biarkan mengendap, langsung aja ditulis buat catatan. Kalau tidak bakalan menguap atau lupa. Atau kalau mau bikin buku, dia menuliskannya ke dalam blok rutin per hari atau dua hari. Dari tulisan blok itu semua tulisan di donlowd lalu ditulis ulang dengan pengembangan sana-sini, sehingga jumlah halaman pas jadi buku.
Kakinya berjalan sambil menyandung-nyandung kerikil di jalan, eh nggak ada ding. Jalannya kan paving he heh. Seolah-olah saja dalam benak Mia dia menyandung-nyandung kerikil. Dia memegang daun satu-satu bebungaan di sepanjang jalan trotoar. Dia ingat cerita masa kecil yang dibaca dari buku perpustakaan sekolah dan membekas. Judulnya “Daun berbisik”. Ceritanya seorang anak yang bermain di hutan dan tersesat. Anak itu kebingungan mencari arah jalan pulang. Lalu dia berbisik kepada daun, dengan memegang daun satu demi satu, sambil berbisik,” Daun yang baik antarkan aku pulang.” Daun itu menularkan bisikannya ke daun berikutnya, dan melambai-lambai seolah memberi petunjuk jalan. Akhirnya anak itu menemukan jalannya untuk pulang.
Kali ini Mia meniru memegang daun satu demi satu dan berbisik,” Daun yang baik, antarkan aku pada cinta.” He heh Mia senyum-senyum sendiri. Dalam hati dia mbatin,”Terserah kau daun aku becanda he heh.”
Dia memandang daun-daun itu. Sepertinya daun-daun itu mengangguk-nggangguk. Dia seperti mendengar bisikan ringan,”Tunggu Mia cantik sebentar lagi.”
Mia jadi lebih bersemangat, kakinya melangkah bergegas seperti langkah kaki pramuka. Dia masuk angkringan langganannya di dekat Lawang Sewu. Sebelah kiri berderet-deret warung tempel, sebelah kanan sungai membentang. Katakanlah sungai, meski kalau di kota tak lebih dari Got besar. Airnya kotor mirip comberan dan bau khas sungai tercemar.
“Mbak ada nasi apa aja?” Tanya Mia santai.
“Nasi Teri, Oseng-oseng, Bakso, Ikan pindang .” Jawab Mbak Menuk sambil nyebut satu-satu luar kepala. Seperti kalau youtuber bilang “jangan lupa ketuk lonceng, subcreeb like and share” tanpa mikir. Terus ditambah,” Biar channel kami dapat berkembang”. Bilang begitu sambil tolah toleh tanpa mikir.
Dia ambil duduk paling pojok. Sebelahnya ada kenek angkot, sopir, kuli, pegawai kantor, dan dirinya. Dia bisa enjoy makan di angkringan, karena makan di sini dia bisa menanggalkan statusnya, bersama orang tak dikenal yang datang dan pergi, dia bebas bertindak tanpa ekspresi atau melamun. Makan sambil merenung, dan minum es Teh sambil nggodain mbak penjual.
“Mbak Teh apa yang paling enak?”
“Te Ha er.” Jawab Mbak Menuk menang.
“Salah!”
“Lho Kok.”
“Es Teh Menuk he heh.”
Mbak Menuk tertawa lepas.
Tiba-tiba ada panggilan telpon dari penerbit, waktunya bayar tagihan ini. Bergegas Mia pamit Mbak Menuk punya warung. “Mbak pulang dulu. Nasi bungkus 2, gorengan 4, es Teh Menuk, berapa?”
“16.000,”
“Kembaliannya buat Mbak Menuk,” Mia menyerahkan uang lima puluh ribu.
“Semoga lancar rejeki dan ketemu pangeran berkuda.” Seru Mbak Menuk terkikik.
Mia teringat dia mesti transfer ke percetakan. Dia masuk ke ATM dan memencet tombol angka PIN. Ketuk menu transfer, pilih kode bank, lalu ketik angka dan transfer. Mia keluar ATM tanpa menoleh, dihadapannya sudah antri beberapa orang.
Belum jauh dia berjalan terdengar suara laki-laki berteriak,” Mbak! Mbak tunggu.” Orang yang baru mengenalnya mesti panggil dia mbak kalau lagi pakai kasual. Karena dia tampak 20 tahun lebih muda dari usianya. Mia bersyukur pada Tuhan, tanpa perawatan rumit wajahnya terawat dan kelihatan lebih muda 20 tahun. Struktur tulangnya kokoh dan bagus karena dia rajin renang seminggu sekali.
Mia berhenti dan menoleh,”Ya?” dia bertanya.
“Ini Mbak ATM- nya ketinggalan.” Pemuda itu menjulurkan kartu ATM-nya dengan takjim.
“Oh ya terimakasih.” Mia kaget dan terharu. Ini ATM perusahaan, ada banyak saldo kas di situ. Baik banget mau mengejar dan mengembalikan kartu ATM berisi ratusan juta. Mau tak mau Mia jadi memperhatikan pemuda itu. Seorang pemuda bermuka teduh, rambut ikal, alis tebal, dan bibir tipis.
Belum sempat mengucap terimakasih, cowok itu melenggang pergi cuek. “Terimakasih!” teriak Mia . Terpaksa Mia berteriak karena cowok itu setengah berlari sepuluh langkah.
Cowok itu menoleh dan tersenyum,” Sama-sama.” tangannya melambai lalu balik kanan.
Mia terpana, cowok yang terkesan dingin itu punya senyum renyah. Dia bergegas berjalan menuju kantor. Meeting sebentar lagi dibuka, dia sudah ditunggu Crist dan Tim. Kakinya mulai menendang-nendang batu kecil, dalam khayalannya, kenyataannya tidak ada batu, adanya sampah bungkus minuman ringan. Angin yang semilir membangun lamunannya. Dia terkesan dengan kejujuran cowok cuek tadi, mengapa tidak dia tanya namanya, atau minta nomer teleponnya, untuk sekedar mengirim kartu termakasih atau sovenir. Sebentar, cowok tadi seperti pernah dia kenal. Dimana ya? Rambut ikal, mata teduh, rahangnya yang tegas, bibir tipis. Ah ya kok jadi mikir bibir tipis? Sial! Mia merutuk dirinya sendiri.
Bagus cerita nya kunjungi juga https://is.gd/hujanrezeki