PART 6. CINTA DI BRT
Ini hari Minggu. Mia sudah merencanakan Me Time yang berbeda kali ini. Biasanya dia berkendara jarak pendek, atau sekedar menghabiskan waktu berenang di swimming pool eksklusif. Dia ambil eksklusif karena dia perempuan, merasa risih kalau berkumpul dengan orang banyak dengan baju renang. Dengan kolam renang eksklusif meski tiket lebih mahal, keamanan barang lebih terjamin dan tidak terlalu bertumpuk dengan orang. Dia bisa bebas naik turun arena, sekedar untuk makan roti bakar dan minum es Teh. Membuka browshing IG atau FB, lalu nyebyur lagi ke tengah. Waktu berenang bisa menghabiskan dua jam dengan jeda makan roti bakar atau pisang coklat. Pulangnya berkendara berputar-putar, mengikuti kelokan jalan tipis-tipis dengan satu tangan. Meski perempuan dia cukup ahli menyetir, menyetir dengan satu tangan kanan di setir, tangan kiri memegang persneling. Pikiran yang satu menghadap depan, pikiran yang satu bebas menerawang merdeka. Sebagai perempuan berzodiak Aquarius dia selalu berpikir over thinking, seperti ada dua pikiran yang sibuk bercakap-cakap. Ada pertanyaan yang dijawab sendiri, seandainya begini, seandainya begitu. Kadang imajinasinya liar gila. Makanya dia butuh kegiatan yang menguras energi sampai kelelahan, dan tertidur.
Pagi ini dia sudah siap di Halte BRT, yah dia mau naik BRT. Meski pandemi Halte lumayan jumlah orang yang menunggu di kursi tunggu. Ada sekitar empat atau lima termasuk dirinya. Dengan celana sport, kaos merah maron, dan sepatu kanvas Mia siap melangkah ke BRT jurusan Simpang Lima. Dia mencangklong kamera Canon M-50 dan Tas Ransel yang selalu dibawa kemana-mana. Bawa ransel lebih praktis dan aman dari pada tas tenteng. Turun Simpang Lima, dia menunggu BRT jurusan ke PRPP dan Bandara.
“PRPP Bandara! ” teriak petugas Halte.
Mia bergegas berdiri mengikuti barisan orang-orang yang naik menuju BRT jurusan PRPP- Bandara. Selama pandemi ini jumlah penumpang dibatasi, jadi kursi duduk lumayan lapang kosong. Dia menempati duduk pojok di sudut, entah kenapa dia suka duduk di sudut. Dengan duduk di sudut belakang, dia bisa bebas memandangi orang-orang sekitar. Dia suka mengamati perilaku penumpang di kanan kiri. Naluri reporternya selalu menemukan hal-hal yang unik dari penumpang. Seorang ibu dengan ketiga anak kecil, ibu muda itu rambutnya dikuncir dan bercelana pendek. Kulitnya putih, mata sipit seperti keturunan Chineas cuma berkulit agak gelap. Seorang ibu tua yang berkalung selendang dan membawa bakul belanjaan, agaknya ibu penjual atau malah sedang belanja. Seorang nenek manula yang pergi sendirian dan berjalan agak sempoyongan. Lalu sebelah kanannya seorang pemuda yang sama dengan dirinya memegang kamera, sepertinya kamera Canon EOS M100. Sepertinya hobi fotografi pula. Tunggu-tunggu, hei bukannya cowok itu cowok yang kemarin ya, batin Mia. Tak salah lagi, rambut ikal, alis tebal, dan bibir tipis, Mia tersenyum sendiri. Kenapa dia masih ingat lekuk wajahnya, busyet!
“Ada yang punya uang sepuluh ribu?” tanya Mbak petugas tiket. Agaknya Mbaknya kehabisan uang receh.
“Ini Mbak!” Kata Mia dan cowok itu hampir barengan sambil mengulurkan uang kertas sepuluh ribuan.
Cowok itu menoleh, mereka saling pandang lalu sama-sama ketawa.
“Kamu cowok yang kemarin ketemu bukan?” Tanya Mia memastikan.
Cowok itu hanya tersenyum, lalu menunduk melihat-lihat gadget. Lalu mereka berdiam-diaman asyik dengan kegiatan sendiri. Mia menjawab pesan satu-satu dari reporternya. Lalu dia memandang jendela, BRT sudah mau mendekati Bandara. Entah dia suka memandang jendela, mengikuti pergerakan pohon-pohon yang seperti berjalan. Dia melirik sebelah kanan, pemuda tadi seperti asyik menyetel kamera. Dia mencoba titik fokus dengan memotret penumpang. Mia kembali memandang jendela, ingatannya kembali pada Baron yang telah berkhianat. Matanya tergenang, sendu menggelayut, cepat-cepat dia mengusap ekor mata dengan ujung lengannya. Splash, seperti ada cahaya flash yang menuju dirinya, cepat Mia menoleh ke sumber cahaya.
“Hay kau memotret aku?”
“Maaf tidak sengaja,” Kata cowok sebelah itu tersenyum satu garis, tak acuh lalu cepat mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
Mia kembali memeriksa ponselnya. Tampaknya sudah tidak ada pesan yang masuk. Untuk grup Watshaap dia tak pernah ambil pusing, dia jarang berkomentar atau pos. Paling banter dia menscroll dengan cepat, cari tahu intinya saja lalu hapus. Ada beberapa grup yang dengan karakteristik masing-masing. Grup teman SMP dan SMA yang rata-rata pembicaraan yang ringan-ringan dan melulu bicara soal menu makanan. Grup angkatan kuliah FEB yang selalu bicara Covid dan Vaksin, sesekali diiringi Golf atau kuliner. Lalu yang dia cukup nyimak Grup teman jurnalistik yang pembicaraan lumayan berbobot, tentang politik, Covid, Vaksin, dan sesekali bully-an antara senior dan yunior. Ada grup satu lagi yang selain bicara politik, keritik pemerintah, sesekali bercanda tentang poligami tapi ora wani. Candaan yang berkisar poligami dan janda yang bikin dia eneg, apa para cowok grup ini tidak sadar ada temannya yang janda menyimak. Menyebalkan!
“Bandara!” Petugas berteriak.
Penumpang yang tinggal empat termasuk dirinya dan cowok senyum satu garis itu pun turun. Lagi-lagi Mia terpaksa memperhatikan cowok cuek itu, karena agaknya tujuan mereka sama.
“Ke Bandara juga ya?”
“Ya.” Lagi-lagi matanya sibuk memperhatikan kamera, tangannya sibuk menyetel lensa.
“Menjemput atau berangkat?” tanya Mia lagi penasaran. Mereka berdua berjalan hampir beriringan. Kalau untuk setting kamera, Mia tak selalu ribet menyetel, dia lebih suka eksplorasi jeprat-jepret ngikuti feelingnya. Katakanlah Mia masih amatir dan dari dulu hingga sekarang tahap pemula ha hah.
“Jalan-jalan.” Jawan cowok itu pendek. Cowok itu mengerling sejenak, lalu sebelum berlari dia berkata,”Maaf jalan duluan.” Dia berjalan setengah berlari menuju ke arah kanan. Mia ternganga sejenak, laen nih cowok. Lalu dia melenggang berjalan lurus menuju pintu masuk bandara. Kakinya menuju bundaran taman kubah merah, favourit dia. Di sana ada kursi-kursi dengan meja kecil, di sekelilingnya bunga-bunga sulur merimbun. Mia mulai memasang kamera, dan sesekali fokus memotret. Ada orang-orang lewat, pesawat tinggal landas, dan petugas berjalan. Taxi putih berderet rapi, sepi penumpang. Bila ada penumpang bandara ke luar pintu dua, tiga orang, atau rombongan keluarga kecil, driver taxi pun berteriak,”Taxi-Taxi!” Sementara yang diteriaki malah ngeloyor ke jalur BRT. Kasihan kau Taxi, Mia merasa kasihan memeprhatikan mimik driver yang tertekuk kecewa. Pandemi ini sepi penumpang, jarang orang bepergian jika tidak penting banget.
Mia menoleh. Di sana sisi kanan, berseberangan dengan deretan Taxi dia seperti melihat cowok senyum satu garis itu memasang kamera. Lalu cowok itu seperti menoleh ke arah dirinya. Mereka berpandangan dari arah kejauhan.
Mia ingin berteriak,”Woy cowok sapa namamu?” Namun suaranya tertelan dengan hilangnya punggung cowok cuek itu dari pandangan mata.