Perjalanan ke klinik sore hari lumayan padat. Sampai di Patung Kuda Ngesrep, ayah seperti terjaga.
“Lho aku kok ning kene, Mah?” tanya suamiku.
“Oh sudah sadar tho. Mau ora sadar sampeyan. Ini mau ke Klinik.”
“Oh, ya sesuk lak cuci darah yo. Yo wes ra popo.”
Lalu dia bicara tersendat menceritakan kedekatannya dengan Dr Rofiq. Dahulunya ayah adalah anak buahnya Dr Rofiq Anwar di organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim (ICMI). Dia sering bersama dalam segala aktivitas ICMI dengan Dr Rofiq. DR Dr Rofiq Anwar adalah tokoh dokter muslim penggerak ICMI.
Sampai di pertigaan Pasar Kambing ayah kesakitan. Rasanya amat sangat kesakitan, sampai dia memegang erat sabuk hand selt.
“Ya Allah ampuuun.” Dia memegang erat sandaran kursi depan, kesakitan sangat.
“Harnomoooo! Mo Pak Rofiq mati!” Dalam kesakitan dia meracau, memanggil DR Suharnomo, teman aktivis ICMI.
Sampai di klinik aku ambil kursi roda. Dengan dibantu satpam aku angkat ayah ke kursi roda, masuk ke dalam klinik.
“Aduuuuh! “Ayah bertambah kencang teriaknya. Beramai ramai perawat mendatangi ayah yang lagi kacau.
“Windi!” Ayah berteriak dan meremas perawat yang bernama Windi.
Melihat kondisi ayah yang kacau meracau begitu, Bu Febru perawat senior merekomendasikan ayah dibawa ke RS Kariadi.
“Langsung bawa ke Kariadi aja, sudah kayak begitu.”
“Rujukannya mana, Bu?”
“Ndak usah pake rujukan. Langsung aja emergency masuk IGD.”
“Pakai ambulance bu?”
“Pakai mobil sendiri aja. Kalo pake ambulan harus bawa rujukan.”
“Bagaimana,bu. Ndak bawa rujukan kalo ditolak gimana?”
“Langsung aja emergency, bisa bisa.”
Ayah makin bertambah kacau. Aku segera balik mengangkat ayah ke mobil dan dibawa ke RS Kariadi. Sepanjang perjalanan ayah mengaduh sangat kesakitan dan muntah. Saking sakitnya matanya sampai keluar air mata. Yang kurasakan saat itu adalah seandainya aku bisa berbagi rasa kesakitan.
Belum lagi hari menjelang maghrib, lalu lintas di Peterongan sangat padat. Ayah tambah sangat kesakitan. Dia mengaduh tanpa kesudahan. Demi merasakan sakit tak tertahankan, kakinya menggedor gedor kaca pintu.
Duh Gustiii, bagaimana ini? Aku tambah gugup, macet tak ketulungan. Sementara ayah berteriak kesakitan, sambil kaki menggedor kaca pintu.
“Aduuuuuh biyung. Opo aku arep mati?” Ayah merasakan sakit tak terkira.
“Kowe sopo?” tanyanya ditengah kebingungan kemudian.
“Nikmah.”
Melewati Sriwijaya kemudian perempatan Ahmad Yani lurus sampai IGD RS Kariadi. Di IGD datang dua petugas menjemput. Pintu dibuka, derekan bed disiapkan di sisi pintu mobil.
Agaknya ayah masih dalam kondisi ambang sadar. Dia berteriak manggil Anwar, tidak berusaha keluar mandiri. Sepertinya halusinasi ayah dia kecepit.
“Kecepit! Ora isi metu!” teriaknya blank.
Akhirnya aku yang memapah ayah dibantu Pak Anwar. Ayah digeret ke ruang periksa IGD luar dulu.
Ayah tambah moleng moleng sambil teriak teriak Dr Rofik Anwar mati. Dia juga berteriak teriak manggil DR Suharnomo.
“Mo Harnomo!!”
“Harnomo endi! telpon.”
Aku sangat ketakutan. Di tengah kegugupanku aku berusaha telpon Mas Harnomo. Tapi beliau sedang ada keperluan penting.
“Bu maaf, biar tidak jatuh bapak ditali njih?”
Empat dokter jaga: mencencang kaki ayah, lalu tangan, kaki, ditali. Dari hasil lab ternyata gula ayah drop hanya 30. LaLu ayah disuntik gula biar normal. Selain itu juga ayah diperiksa intensif.
Jam sepuluh malam DR Suharnomo, dekan FEB datang membezuk. Ayah sudah mulai sadar.
Ayah dipindah ke IGD dalam. Sekarang ini pasien IGD. Macam macam pasien berdatangan. Berbagai macam rupa orang dengan sakit berbeda. Pasien terus bertambah hingga lapis tiga.
Kami menunggu kamar kelas satu, nyatanya penuh terus. Sudah tiga hari ayah di IGD, belum dipindah. Setiap kali ke kamar mandi kaki ayah bercak darah.
Lama lama kepala perawat tidak enak. Kami direkomendasi ke VIP ruang Merak. Terus ayah dipindah ke VIP ruang Merak. Cerita berlanjut di kamar Merak.