Aku selalu membiasakan diri kemana mana bawa mobil. Ke kampus tiap hari kubawa, dengan tujuan supaya lancar dan terampil. Untuk parkir juga sedikit dikit mulai maju dekat kantor. Bukan lagi parkir di lapangan upacara atau tritisan trotoar, melainkan sudah masuk depan kantor. Parkir dengan posisi malik menghadap kantor. Parkir di antara jejeran mobil teman lain.
Mengemudi di jalanan juga sudah bagus. Tidak grogi atau keringatan. Kalau dulu dibilang instruktur, aku pegang setir kaku zik zak, sekarang lurus terkendali. Kecepatan kendaraan juga sudah kuatur cepat, lambatnya. Yang jelas taat aturan, menghormati kendaraan lain, dan penting jaga jarak.
Untuk kenyamanan bagi penumpang juga relatif nyaman. Tidak lagi nyendul nyendul, seperti olokan instruktur ‘penumpang bisa kaget bangun kalo tidur’. Suamiku pun memujiku, mindah gigi tak perlu tengok tengok lagi persneling. Aku juga bisa merasakan bedanya masuk gigi satu, dua, dan tiga. Kapan masuk gigi satu, dua, atau tiga. Dulu sama instruktur aku suka tanya,” Gimana sih bedanya satu sampe tiga. Kapan masuk satu atau tiga”. Ternyata berjalan waktu bisa juga merasakan feling sendiri.
“Sekarang setiranku bagus tho, Yah.” kataku nyombong.
“Jo sombong, nanti kenapa kenapa.” seloroh suamiku.
Aku jadi ingat biasanya kalau aku nyombong bisa bisa terjadi apa apa.
Pulang HD kini ambil jalur Sigar Bencah, takut jalur Jatingaleh macet total, karena proyek jalan layang. Pernah aku pulang jagong sudah sampai Kaliwiru, ternyata macet panjang. Langsung deh aku putar balik oper ke arah Peterongan lanjut Pasar Kambing. Dari Pasar Kambing ini nanti terus lewat Sigar Bencah menuju Tembalang.
Kali ini Sigar Bencah lalu lintas amat ramai. Mobil dari arah Tembalang berderet deret. Aku sudah melewati Pom Bensin terus masuk gigi tiga, tancap gas naik Sigar Bencah.
Di belakang ada Katana yang nyelip banter melewatiku dan mobil depan. Sampai di atas bukit tarik gigi dua, Katana depan tampak tersendat naiknya.
“Yah, ketoke sangar ngono, ternyata ngeden yo munggahe. Mending Avanza yo Yah.”
Aku dibelakang Katana jaga jarak, dengan kecepatan sedang. Sementara Katana melambat mengedan, nyaris jarak mobilku sangat dekat.
Aku kaget, langsung ingat gigi satu. Seketika injak kopling penuh, masuk gigi satu. Gas kupancal penuh, aneh mobil kok ndak naik. Malah sroot mblorot.
Din Diiin….. Mobil belakang ngedin peringatan.
Langsung handrem kuangkat, rem kuinjak penuh. Semakin gugup dan grogi, ini di ketinggian, sangat berbahaya.
“Sek sek gas gas.” saran suamiku.
Hand rem turun, gas kupancal. Ngeng ngeng…. Tidak naik malah mati.
“Starter lagi.”
Kutengok mesin mati. Kustarter lagi. Kuulangi lagi: handrem turun, gas pancal ngeng………
Alhamdulillah lega naik juga. Untung mobil belakang sabar. Tidak begitu ribut ngebel.
“Mau kenopo Yah, masuk satu kok ndak jalan.”
“Lha mau koplinge iseh mbok pidak dadi ora mlaku.”
Oh, ya aku baru sadar. Karena kaget aku telat pindah gigi satu. Karena gugup pula kopling masih kuinjak penuh pas ngegas. Harusnya begitu masuk satu, kopling di lepas sedikit, gas dipancal.
“Oooh haruse kopling dilepas yo.”
Makane ono sok ngenyek mobil liyo, Nik Nik. Kataku sendiri menasehati.