Oleh: Nikmatuniayah
Sepulang dari Rumah Sakit Banyumanik kami diantar teman ayah ED. ED mengenalkan kami pengobatan alternatif di Jalan Banyumanik, tahun 2004. Tabib atau biasa disebut dukun ini mengobati dengan ramuan racikan. Racikan ini seperti daun daunan yang ditumbuk halus lalu dibungkus dengan kertas minyak kecil kecil. Ramuan ini mengingatkan pada puyer yang biasa diberikan bayi sebagai obat. Jika dihitung biayanya jatuhnya lebih mahal dari pada beli obat generik.
Biasanya aku membeli per pekan, sejumlah hari yang dilalui. Puyernya diminum 3 x sehari sesudah makan. Ada puyer lagi yang ditaburkan di kaki setelah kaki direndam air panas. Sebetulnya puyer yang diminum maupun yang tabur isinya sama saja, karena belinya jadi satu. Tiga kali untuk diminum, dua kali untuk tabur kaki.
Ada yang khas lagi. Kaki suamiku (yang sebelumnya dioperasi/kerok) harus direndam air godogan kembang pacar banyu, buah jambe, dan daun sirih. Air godogan itu berwarna kemerah merahan. Air godogan tersebut ditaruh baskom untuk merendam kaki. Selanjutnya kaki direndam air yang masih panas tersebut. Begitu cukup bagian luka (tumit & dlamakan) ditabur puyer.
Kondisi suamiku waktu itu lemas. Dia lebih banyak berbaring dan gampang tidur. Selera makan juga tidak baik. Menurut dukunnya ada beberapa yang dilarang: Ikan, Telur, Sea food, dll aku tidak ingat. Yang jelas daftar larangan itu berdampak buruk, besoknya suamiku kekurangan protein.
Kondisi kakinya masih luka dan berdarah darah. Ayah mengikat lukanya dengan kain putih, diganti dua kali. Bekas kain yang luka itu membekas darah merah berdarah darah. Kain bekas luka dicuci bibi (pengasuh) anak kami yang nomor dua. Kejadian ini adik menjelang usia 1 tahun.
Jika mau mandi ayah membungkus kakinya dengan kresek yang diikat sedemikian sehingga luka tidak basah. Ada kejadian lucu, adik yang baru jalan ini, pas ayah mau mandi, adik mengambil kresek lalu ditempelkan di kaki sang ayah. Ya Allah ternyata adik kecil selama ini memperhatikan, meskipun belum lancar bicara.
Jika pagi hari ayah membiasakan diri jalan kaki di komplek, karena sakit diabetes harus olah raga. Jika aku beli sarapan dan melihat ayah lewat jalan, semua orang pada memperhatikan terutama kakinya. Kaki kanannya dibebat kain, kelihatan merah darah. Tapi yang kuingat dia tak malu, tetap jalan dengan jinjit, semangatnya membara.
Suatu hari ketika ayah usai merendam kaki, dia menabur tiba tiba klek. Jari kakinya lepas satu sendiri. Jari itu kering tak meninggalkan jaringan luka. Dia sepertinya tabah, tapi aku takut sekali. Ketika kulaporkan dukunnya tidak apa apa (besoknya aku baru tahu kondisi ini berbahaya).
Perkembangan suamiku tidak bertambah baik. Ayah mulai susah makan badannya turun drastis, kurus kering. Badannya lemah, hanya berbaring, sekarang tidak lagi jalan jalan. Dia hanya jalan kalau turun ke kamar mandi.
Masih kuingat waktu itu. Setiap kali bangun pagi (pukul 05.00 wib) dia jalan ke kamar mandi, bekas kakinya meninggalkan darah yang jika kubersihkan sampai kuperas kain pelnya. Kondisi ini nantinya mengakibatkan dia anemia.
Suatu malam dia berteriak kesakitan,” biyung biyung ….biyung…biyung…!”
Aku panik, aku telpon dukunnya, “Pak Pak tolong, suamiku kesakitan teriak teriak.”
“Mungkin gulanya ngedrop beri teh manis.”
Kubuatkan teh manis (besoknya aku baru tahu, ini kesalahan teh manis malah menaikkan gula darahnya ). Suamiku malah teriak teriak tak sadarkan diri.
Aku telpon lagi,” Pak Pak tolong teriak teriak tak sadar.”
Apa coba jawabnya,” Bawa aja ke rumah sakit bu.”
(Esok jadi pelajaran jangan sekali kali percaya dukun, tambah parah ujung ujungnya suruh bawa rumah sakit).
Aku betul betul panik. Aku langsung telpon teman kantor juga tetangga kampungku Mas Tok.
“Mas Mas tulung suamiku. Tidak sadar, bawa rumah sakit Mas”.
Mas Tok datang bersama seorang kawan dengan mengendarai mobil. Dengan ditolong tetangga komplek, ayah dibopong ke mobil. Waktu itu di rumah ada ibuku, pembantuku pocokan. Si kakak 4 th bisa dititipkan mbahe. Tapi si adik masih bayi, masih nenen / ngedot. Akhirnya kuambil baju baju adik bayi dan dot susu.
Di mobil ayah dijaga kawan, Mas Tok menyopir. Adik kugendong, sebelum keluar Tembalang mampir dulu ke rumah bibik pengasuh adik.
Jam 01.00 wib pintu kugedor gedor karena sudah sepi.
“Bik! Biik! dok dok!”
Pintu dibuka kreek.
“Bik tulung aku titip adik ya. Aku mau ke rumah sakit, bapak tidak sadar.”
Adik bayi kupasrahkan bibiknya. Selama di Rumah Sakit aku fokus merawat ayah. Di sana ayah ternyata gula tinggi (300), kurang albumin, protein, dan anemia.