Oleh: Nikmatuniayah
Malam ini aku tak bisa tidur. Malam ini adalah penentuan akhir keputusan dokter besok pagi. Bolak balik aku ke kamar mandi, menengok dibalik celana dalamku, masih ada noda darah tidak. Nyatanya masih ada. Betapa gundah gulana hatiku. Aku membolak balik badan dipembaringan. Tentu saja aku tak tidur semalaman. Antara tidur sebentar, bangun, tidur sebentar, bangun lagi.
Kalau digambarkan bagaimana rasanya, seperti menunggu vonis kematian. Aku berzikir, berharap ada keajaiban, kepalaku sampai pening karena mikir nyut nyutan. Masih terngiang jika malam menjelang tidur, si kecil mengelus elus perut sambil manggil manggil,”Dik Oil dik Oil bubuk ya.”
Panggilan bakal bayi memang Oil singkatan dari Orang berIlmu. Kalau si kecil sendiri panggilan bayinya Osa, dari kata Orang Sabar. Sedang si kakak Opin artinya Orang Pintar.
Allahu Akbar ……
Allahu Akbar…..
Tak terasa azdan shubuh bertalu. Aku sholat subuh, selesai sudah masa penantian ini. Bagaimana pun nanti keputusan dokter aku harus tabah menghadapi.
Pagi aku diantar Mas Abu ke RS Banyumanik, pemeriksaan terakhir. Dokter Sujiat belum datang. Perutku di USG asisten, lalu disuruh menunggu hasilnya. Kemudian asisten medis itu menelepon dr Sujiat, menanyakan tindakan berikutnya.
Malang tak dapat ditolak. Untung tak dapat diraih. Asisten itu memberitahu Masku kalau kehamilan ini tak bisa dipertahankan. Solusi terbaik adalah dikuret, dan operasinya menunggu dokter datang.
Lalu asisten medis tersebut menyiapkan berkas berkas keputusan operasi yang harus ditanda tangani pendamping keluarga.
“Suaminya mana Pak. Tolong tanda tangan di sini Ya.”
“Anu Mbak suaminya baru opname di RS Kariadi. Gimana ya Mbak?”
“Ditelpon Mas minta persetujuan suami dulu njih.”
Lalu Mas Abu telpon suamiku,”Dik En ini rak miskram. Keputusane dokter kudu dikuret, rak popo yo Dik diikhlaske. Ini keputusan terbaik.”
Di sana suamiku menjawab,” Yo Mas ra popo ikhlaas.”
Sementara aku di instalasi cemas, seumur umur baru ini aku masuk rumah sakit, operasi lagi. Dokter datang menyiapkan peralatan segala sesuatu.
Dipegangnya denyut nadi tanganku, rasanya memang tak karuan dag dig dug.
“Ibu takut ya?”
“Ya dok saya takut.”
Berikutnya dokter mengajak aku bercakap cakap. Anaknya berapa, umur berapa, kelas berapa. Rumahnya dimana, kerja dimana sampai aku tak tahu tak sadarkan diri (agaknya tadi aku disuntik pati roso).
Selang kemudian aku seperti geleng geleng kanan kiri. Mataku mulai terbuka, kulihat Bu Lia teman kantor & kuliah sudah datang membesuk. Yang pertama kuingat adalah Bu Ul juga teman kantor & kuliah sedang proses menyusun Tesis.
Kutanya,”Bu Ul sudah ujian?”
Jawab Bu Lia,”Wes rak sah mikir Tesis. Istirahat wae.”
Berikutnya Mbak Ida datang. Karena pengaruh sentimentil kami nangis berbarengan. Yah seperti sudah jatuh ketimba tangga. Suami dirawat RS, aku keguguran. Siangnya datang pula Mbak Dewi yang juga kepala sekolah anakku. Kami berkawan akrab, jadilah kami sentimentil nangis bareng.
Beberapa hari kemudian. Ayah sudah kembali ke rumah. Hari ini rencana kami berempat: ayah, ibu, anak mau mengubur bakal bayi hasil kuretan, yang disimpan dalam kendil. Kendil yang biasa untuk menyimpan ari ari sehabis bersalin. Kali ini beda yang dikubur si Oil. Kami pun mengadakan upacara doa secara sederhana. Bakal bayi yang mati itu berupa sekepalan daging. Kami mengubur Oil dengan disaksikan anak anak. Atasnya ditabur bunga mawar merah. Harum wangi. Dengan demikian adik jadi tahu, bahwa mamanya sudah tak mengandung lagi.