Oleh: Nikmatuniayah
Malam itu ayah dibawa ke UGD RS Kariadi, rumah sakit terbesar di Jawa Tengah. Suamiku kaki dan tangan kanan kiri diikat tapi karena hiperaktif tak sadar diri. Badannya moleng kanan kiri, kakinya menendang nendang. Langsung badan ayah diperiksa intensif. Bajunya dibuka, dadanya dipasang alat alat detektor, kaki juga dijepit alat alat detektor. Jarinya dijepit alat detektor yang berhubungan dengan kamera. Sebelah sisinya ada alat detektor yang mendeteksi kadar gula darah. Baru tahu jika kadar gula ayah tidak stabil. Setiap jam di catat perawat. Di bawah juga dipasang kateter air seni, yang juga dicatat per jam.
Kemudian ayah dibawa ke ruang Cendrawasih. Masuk kelas 3 bersebelahan dengan pasien pasien lain. Mestinya aku dapat ruang kelas 1, tapi karena penuh nunggu kosong dulu.
Di ruang Cendrawasih ayah masih diikat, karena masih tak sadarkan diri. Secara tak sadar ayah balik kanan, balik kiri, kadang kadang seperti mau bangun.
Ayah berteriak ,”Allah… Allah…. Allah……. Allah!!”
Perawat ruang mengusulkan supaya aku beli kopi, lalu ditempel di bed. Tujuaanya untuk menetralisir bau kaki yang busuk. Bubuk kopi dimasukkan plastik, dilubangi, lalu ditali di kerangka bed.
Malam di ruang perawat aku ditanya dokter jaga. Sebelumnya minum jamu apa tidak. Kuberitahu awal mulanya dari minum jamu. Demam apa tidak, kujawah demam dan lemas. Makannya bagaimana? Makannya tidak selera.
Selama tiga hari ayah belum sadar. Aku memanggil Om Ar, adik bungsu ayah. Om Ar ngebis dari Tulungagung ke Semarang menemui ayah di Rumah Sakit.
Pagi hari ketiga ayah mulai sadar. Lalu berdebat dengan Om Ar.
“Ar ono suara manuk, kuwi manuk opo?”
“Dudu gak ono. kuwi suara iki lho,” Kata Om Ar sambil nunjuk kotak mesin di sisi kanan.
Suara yang dimaksud adalah suara tit tit tit yang ada di alat detektor gula. Gula darahnya tidak stabil 200, 180, turun 30, naik 250, turun 150, ngedrop 50.
Dari hasil lab ayah dinyatakan kurang albumin, protein, dan darah. Albumin ditambah 2 botol kecil (150 cc) dan langsung dihubungkan dengan infus. Sedangkan darah ditambah 8 kantong. Masih kuingat malam pukul 24.00 wib, aku diberitahu perawat jaga supaya ambil darah di bank darah RS Kariadi. Langsung diambil malam itu juga. Jarak Cendrawasih dengan bank darah lumayan jauh, berkelok kelok. Seperti apa rasanya tengah malam jalan sendiri di koridor Rumah Sakit. Mencekam, sepi, hening tak ada suara, tak ada orang lewat. Pandanganku lurus ke depan, melangkah cepat cepat, jangan tengok belakang ya.
Menunggu di ruang ekonomi asik asik aja kalau dinikmati. Kamar mandinya dipakai bersama sama. Tetangga bed juga aneh aneh. Ada bapak yang takut disuntik, ada remaja yang operasi getah bening, dan yang mengerikan kamar sebelah ada pasien tak sadarkan. Teriak teriak ngomyang, teriaknya lucu tapi medeni, karena suaranya kenceng. Dari bed ayah kederangan jelas dan kenceng banget bikin merinding.
“Da da …. kowe ning endi Da!”
“Kene tak tukokno duren!!” terus terdengar orangnya ketawa.
Selama di Cendrawasih tiap pagi datang dua perawat membawa meja beroda ke ayah. Kaki ayah dipentangkan dan disangga. Lalu dlamaan kakinya dikerok sedikit dikit. Bagian yang busuk dibuang. Tapi tiap hari dikerik, lama lama menganga. Sudah 15 hari kami di lantai 1, perawat jaga minta aku naik lantai 2 boking kamar kelas satu.
“Mbak pesan kamar kelas satu ya. ”
“Sini milih dokternya.”
Bingung suruh milih, akhirnya kupilih dr chokorda, seperti dari Bali.
Berikutnya ayah dipindah di bangsal kelas satu. Ruang kelas satu ada lima pasien, dua depan kanan kiri, satu belakang dekat kamar mandi.
Oleh dr Cokorda ayah mulai diperiksa intensif. Ada indikasi jika pembuluh darah tidak baik, kaki bakal diamputasi.
Duh Tuhaan aku takut sekali. Omong omong dengan tetangga kamar berbagai macam cerita dan usulan. Satu saran yang kujalani, yaitu menggodog kelapa hijau muda, godokannya masih sama serabutnya, lalu air kelapanya diminum pasien.
Selanjutnya setiap pagi pukul 10.00 wib aku pulang ke pasar Peterongan beli kelapa muda 4/6 butir, kutenteng sendiri naik angkot.
Sampai di rumah aku menenteng 6 kelapa dengan kelelahan. Ibuku di rumah kasihan melihatku. Kelapa itu kurebus di panci besar, utuh. Ditinggu sampai kulit menjadi coklat, kemudian dilobangi, sedot air kelapanya. Aku balik lagi dengan satu botol air kelapa muda.
Sampai di rumah sakit air kelapanya diminum ayah sedikit dikit. Lama berjalan hingga 10 hari, gulanya kok ndak turun turun.
Sampai dokternya heran,” Pak minum apa? Tidak boleh bawa minuman dari luar ya. Kalau ndak turun turun ndak bisa dites.”
Akhirnya aku menyarankan air kelapanya dihentikan dulu, barangkali itu pemacunya. Selang hari kemudian gulanya sudah bagus. Kali ini akan dilakukan tes pembuluh arteri kaki.
Alat yang dipakai termasuk baru, ayah termasuk pasien uji cobanya. Ayah dibawa ke ruang operasi dengan diiringi beberapa mahasiswa kedokteran. Tampaknya operasi ini akan jadi kuliah mereka.
Kaki dibius, terus dimasuki kabel panjang mulai dari selangkangan ke paha bawah. Kabel itu katanya ada kamera yang memfoto pembuluh arteri.
Alhamdulillah dari hasi fotonya pembuluh arterinya masih bagus. Kaki ayah masih bisa dipertahankan.
“Allahu Akbar syukuuur.”
Ayah dirawat sampai 2/ 2,5 bulan. Tinggal menunggu gula darahnya stabil. Dia sampai brewokan saking lamanya. Begitu boleh pulang ayah mencukur terlebih dulu. Kami pulang naik taksi.
Di rumah bibik sudah menunggu dengan adik. Sulung tidur sama mbahnya selama di rumah sakit. Turun dari taksi ayah jalan masuk rumah. Rasanya dia rindu sekali sama anak anak. Dihampirinya adik yang baru bisa jalan. Ayah mau meluk, adik melengos menghindar. Tampaknya adik telah lupa sama ayahnya.