Nikmah Yuana (Buku Antologi “Aku Sayang Keluarga” , Penerbit Alineaku)
Ini malam yang kesekian kalinya aku membawa suamiku ke IGD RS Kariadi, karena anfal. Diperiksa sana sini, aku diminta tanda tangan pemakaian alat bantu pernafasan, dan alat kejut bila diperlukan. Aku tidak berpikir jauh-jauh karena biasanya suamiku ke Rumah Sakit mesti pulang.
“Ibu nanti kalo bapak kesulitan bernafas, dibantu alat pernafasan nggih (selang). Ini Bapak kesulitan bernafas secara normal.” Dokter itu juga menerangkan bila dibutuhkan sewaktu-waktu, suamiku dibantu alat kejut jantung.
“Ya Dok.” Saya diminta tanda tangan.
Suamiku pengidap gagal ginjal yang mesti cuci darah dua kali seminggu. Seminggu dua kali kuantar ke klinik Cuci Darah di Jalan Durian Semarang. Kondisinya menurun dari hilang kesadaran, memakai tongkat, dan sekarang sesak nafas. Di sini aku ditemani ponakanku, ULil yang juga perawat di rumah sakit ini.
Aku curhat tanya,” Kok aku diminta tanda tangan alat bantu pernafasan, sakjane kondisi Mas Teguh gimana tho Lil.”
Ulil menghela nafas,” Biasanya kalo Om Teguh ke Rumah Sakit mesti kan ada yang baru tho Lik Anik. Dari mulai pakai insulin, cuci darah, sekarang begini.”
“Iya ya.” Dalam hati aku membatin ini pasti pulang ke rumah. Kondisi suamiku kurang darah, HB rendah sekali, ini buah simalakama. Bila ditambah darah bersamaan dengan cuci darah, kondisinya masih lemah, HB 5. Sebelumnya juga pernah HB5 ditambah darah bersamaan dengan cuci darah, pulang dan sehat. Aku berpikir kali ini juga akan sama.
Di ranjang suamiku ngos ngosan nafasnya satu-satu. Aku tinggal pamit dulu untuk sholat Isya, di sini suasana mencekam karena suara generator Rumah Sakit keras sekali. Aku keluar sebentar cari makan. Di luar pagar ada penjual bakso, lalu aku makan bakso dan Teh anget panas panas.
Balik ke IGD suamiku ditempatkan di tempat khusus ada tanda merah, yang aku baru tahu artinya ke depan, bahwa ini pasien darurat.
Besoknya suamiku mesti nanya kapan darahnya datang. Setiap tiga puluh menit dia menanyakan darahnya kapan datang.
“Darahnya dah datang?”
Lalu aku tanya dokter jaga yang dijawab “belum”. Sepuluh menit kemudian dia bertanya lagi, minta aku mendesak dokter untuk mendatangkan darahnya.
Saya tanya ke dokter jaga,”Dok darahnya sudah ada?” Suamiku golongan darahnya B.
Dokter itu masih bercakap-cakap dengan rekannya. “Belum Bu, nanti kalo sudah tiba diberitahu.”
Aku menunggu sampai pukul 11.00 wib belum ada tanda tanda darah tiba. Suamiku seperti payah, nafasnya sesak, dan tidak sabar. Dia memarahiku untuk menanyakan kapan darahnya tiba.
Aku yang bingung, di sini dimarahi suami, di sana dokter masih tenang tenang saja. Akhirnya aku beranjak seolah aku pergi untuk menanyakan darah, padahal aku ngelimpe keluar kamar. Datang teman-teman suamiku membezuk, Mbak Tutik dan Mbak Dewi, mereka berdua adalah sahabat semasa kuliah. Ungtunglah ada teman, jadi suamiku teralihkan.
Tiba-tiba saja diberitahu bahwa darah yang diminta sudah ada (5 kantong). Lalu suamiku disiapkan untuk pindah ke Ruang Hemodialisis, Lantai 3. Bersama dengan ke dua teman yang ikut serta, naik lift. Aku tidak punya firasat apa-apa.
Aku menunggunya disebelah dipan dengan sabar. Selang satu untuk jalan cuci darah, dan selang berikutnya darah yang ditambahkan. Jadi pengidap gagal ginjal bila HB rendah, tambah darah, darahnya dicuci lewat selang untuk dicuci, seperti dua kali kerja. Suamiku dulu pernah bercanda,”Kenapa darahnya nggak dicuci dulu baru dimasukkan ya .” Katanya bersungut-sungut getir.
“Mah tadi kok ada ibuk ibuk ngasih aku bantal,” Katanya sambil tangan meraih-raih. Agaknya suamiku mulai hilang kesadaran, karena sebenarnya tidak ada.
Aku keluar sebentar cari makan siang, kali ini dibungkus. Kembali sekitar pukul 15.00 WIB. Tiba -tiba blip blip lampu merah, dan bunyi sirene kenceng sekali. Ternyata bunyi itu di bilik suamiku, cepat-cepat dokter dan perawat menuju dengan sigap. Selang dilepas, dihentikan. Rupanya darah sudah tidak jalan.
“Kenapa Dok?’
“Badan Pak Teguh sudah ngga mau Nerima darahnya Bu.”
Aku melihat kepala suamiku terkulai, dan nafasnya lembut.
“Bu, bapak kan sudah begini, ada yang mau dikatakan bu?”
Saya diam, tidak tahu harus bagaimana.
“Ibu ke sana sebentar nggih, biar kita ambil Tindakan.”
Aku ingat belum sholat karena rencana mau dijamak. Akhirnya darurat aku ambil tayamum dan sholat sambil duduk, di kursi Ruang Tunggu. Sementara aku sholat, aku masih mendengar keributan, alat bantu kejut di benamkan ke dada suamiku.
Aku sholat jamak qosor Dhuhur dan Ashar, begitu salam kanan kiri, dokter sudah menungguku.
“Bu, Bapak sudah tiada,” Katanya.