By Nikmah Yuana , dimuat dalam ” Suara Perut Manis Ibu” , Antologi Penerbit Antologi
Aku termasuk perempuan yang beruntung. Ketika menikah habis malam pertama selanjutnya aku tidak haid, artinya aku langsung hamil. Tentunya anugrah ini tidak terduga bagi kami penganten baru. Bagi kami yang belum merencanakan anak, dan tidak pula KB ( menunda kelahiran), ini adalah anugrah yang istimewa. Kakakku aja iri dengan peruntunganku. Kami juga sepakat tidak menjalani rontgen, untuk mengetahui jenis kelamin. Disamping kami menjauhkan calon bayi kami dari radiasi, dan juga bagi kami suatu kejutan. Kami bisa menebak apakah laki-laki atau perempuan. Melihat gerakannya yang aktif, kami perkirakan laki-laki. Tentunya kami menyiapkan dua nama, laki laki dan perempuan untuk bayi kami kelak.
Sebagai calon ibu selama dalam kandungan bayi kami, putra pertama, kami panggil Opin (Orang pintar), saya rangsang dengan musik klasik. Katanya musik klasik dapat meningkatkan kecerdasan anak. Saya juga didorong suami makan makanan yang sehat, terutama bubur kacang ijo, biar rambut putra kami lebat.
Saya bacakan al Qur’an selagi selesai sholat dan berdoa. Karena hamil tentunya tidak ada halangan, saya bisa beribadah full hingga 9 bulan. Meski dalam HPL si bayai lahir lebih cepat 1 Minggu.
Selagi hamil ketika kaki bayi dalam kandungan mulai menendang-nendang, saya ajak bicara. Saya tunjukkan suami, “Ini lho Mas kakinya, ini tangannya .” Suami mangut-mangut sambil tersenyum, tangannya kuarahkan untuk memegang posisi yang bergerak.
Malam itu kami selesai menjalankan hubungan suami istri, tentunya dengan posisi yang aman bagi calon bayi. Saya rasakan mulai timbul flek, dan semakin kerasa flek darah merah mulai keluar di celana dalam. Saya bilang ke suami, segera kami siap-siap berangkat ke puskesmas, dengan Tas bawaan yang sudah disiapkan jauh-jauh hari. Tas itu berisi baju ganti dan popok, salinan bayi, bedong bayi.
Sampai di Puskesmas saya dinyatakan bukaan 4, saya berbaring di ruang persalinan. Waktu itu ada barengan di sebelah ibu-ibu yang melahirkan bayi perempuan. Saya memegang tangan perawat kuat-kuat sambil mengejan, dan tak lama akhirnya bayi lahir laki-laki. Bayi itu diazankan suami saya, waktu azan tangannya memegang jari suami saya.
Ada yang lucu ketika saya habis lahiran. Terpengaruh sinetron, saya punya kecemasan “jangan-jangan bayi saya tertukar”. Saya selalu memastikan anak laki-laki saya baik-baik. Ada tanda lahir: bolong di telinga kanan, sama persis punya suamiku. Dan setiap kali tidur, selalu kupeluk erat, karena takut diambil atau ditukar bayi lain he he.
Ketika pagi saya disuguhi The manis, sedang tetanga kamar (hanya dipisah meja ding he he) dikasih susu. Aku bilang ke suami,” Kok ibuk lain dikasih susu aku teh? Apa karena aku BPJS ya?”
“Ngga papa nanti tak buatin susu sendiri.” Suamiku pulang mengambil susu Prenagen yang kupunya di rumah.
Barenganku di bangsal ada sekitar empat ibu baru. Setiap kali bayi ada yang nangis, ke empat bapak yang menunggu di luar melongok, dan eh “bayi sampeyan Mas”. Akhirnya dibuat kesepakatan yang melongok satu orang aja gantian, dan ketika yang menangis bayiku, si Bapak bilang,” Bayi sampeyan Mas Teguh” Ha ha ha..
Aku menghabiskan masa rawat 3 hari di Bangsal, tidak berniat pulang. Karena tidak tahu nanti bagaimana memandikan bayi semungil itu.
Hingga esoknya Ibu dan kakakku datang menengok. “balek kapan?”
Aku pandang-pandangan dengan suami.
“Ayo balek saiki.” Kata ibuku.
Akhirnya sore itu juga suamiku mengurus administrasi dan pulang. KIta pulang bareng naik Taksi.
Di rumah yang memandikan dan menggendong bayi ibuku. Pagi sekali jam 06.00 wib, ibu sudah merebus air, lalu menyiapkan bak mandi. Aku belum bisa menggendong dengan benar, mesti bayiku nangis kejer-kejer. Kadang menangis dari mahgrib sampai tengah malam dengan jeda. Bila nangis Ibu memberi bayiku “suapan pisang yang dipleyet”. Aku mencegahnya karena menurut bidan yang bagus ASI. Tapi ya bayinya emang jadi anteng tidur lagi.
“Halah mbiyen awakmu yo tak pakani gedhang.”
Aku protes sama suamiku, dan minta supaya mencegah ibuku. Namun suamiku bijak, diam saja membiarkan ibuku.
“Kok aku ngga kuasa sebagai ibu.” Kataku merajuk. Suamiku senyum dan melerai,” nanti kau juga bisa.”


Wisuda anak pertama 28 September 2023