By Nikmah Yuana, Dimuat dalam Antologi “Saya Lelah ada Allah di Hatiku” , Penerbit Alineaku
Bertubi-tubi ujian menimpaku. Aku kehilangan suami di umur yang terbilang masih muda. Menjelang kematiannya suami pernah berkata,” Sopo sing seneng kowe? “ (Siapa yang mencintaimu kelak).
Aku tidak mengagasnya, kupikir hanya omongan orang ngelantur, orang sakit. Yah suamiku didera diabetes dan gagal ginjal kronis. Sebentar-bentar tidak sadar diri, sebentar-bentar pingsan. Suamiku meninggal dengan tenang, pas kutunggui di rumah sakit. Aku masih mendampinginya menjelang tidurnya yang Panjang.
Awal sepeninggal suamiku, aku masih hidup sendiri, karena anak-anak sekolah di pondok pesantren. Sendirian di rumah, dengan rasa sepi & takut, yang kututup dengan banyaknya kegiatan. Kadang suara kaleng jatuh saja dapat mengagetkan aku. Di Tengah malam kadang terdengar suara ketuk-ketuk pintu. Aku hanya mendengar dan menunggu suara itu hilang. Suamiku pernah berpesan padaku, jika ada suara orang ketuk-ketuk pintu di tengah malam, biarkan. Sebenarnya itu adalah suara ketukan hewan-hewan liar, karena rumahku masih di rimba ilalang.
Kegiatan lain selain mengajar di Perguruan Tinggi, yaitu sebagai Penggerak literasi di Taman Tirto Agung. Memproduksi film pendek dan video musik. Semua uangku kualirkan di sini, mungkin kasarannya 70%. Hingga kadang aku kehabisan uang, jika salah perhitungan.
Seperti sekarang aku sendiri recording dengan keterbatasan dana. Hanya ada uang 25 K, aku belikan nasi ayam dan Teh 5 K. Tanpa camilan atau jajanan buat pengisi waktu. Padahal bila anak-anak yang recording, atau shooting kupastikan dananya cukup, makan di resto, dan transpotasi terjamin.
Kadang aku menyesalinya, aku gampang “membuang uang” untuk keperluan orang lain, sementara untuk diriku aku kesusahan. Tinggal uang 200 K untuk satu minggu. Beli tempe untuk masak kering tempe, atau tahu dimasak tahu kecap.
Aku menyesalinya, tapi aku mengulanginya lagi. Demikian, jika aku kekurangan di akhir bulan, aku menggoblok-goblokan diriku sendiri.
Aku telah mencintai seseorang yang lebih muda dariku. Aku mencintainya tanpa dikendalikan, atau direkayasa. Sepertinya pemuda itu juga mencintaiku, atau hanya menggodaku, katakanlah. Karena sebenarnya di awal dia memang berniat meninggalkan aku, dengan menikahi seorang gadis.
Aku jadi teringat kata-kata suamiku menjelang tidurnya yang Panjang,” Sopo sing seneng kowe?”
Kenyataannya memang tidak ada yang memperjuangkan janda, gadis bekas. Statusku mempermalukan dirinya, sehingga aku tak cukup baik diperjuangankan. Pantasnya seorang janda, apa memang dibuang dan dilupakan.
Dengan ditinggal kekasihku, aku merasa “Tidak Berharga”. Aku merasa “Dibuang”.
Tengah malam aku masih menangisinya. Aku masih mengingatnya, aku malu dengan kebesaran rasaku, orang bilang Gede Rumongso (GR) atau baperan. Kukira cintanya cukup besar, hingga pantas untuk memperjuangkan aku. Aku salah! Kenyatannya aku telah diblokir, begitu menanyakan, “Seberapa besar kamu mencintaiku”. Agar tidak mengganggu stabilitas hubungan dengan kekasihnya yang telah dipilih (seorang perawan), diputuslah nomor wathsaap aku.
Setiap orang memang diuji dengan kelemahannya, harta, Wanita, atau tahta. Aku seorang pecinta, yang hobi membaca novel romans, novel dewasa, Bangsawan Inggris tempo dulu (gotik), paling kusuka. Jadi kerasa, rupanya aku diuji dengan cinta, perasaan malang, halu. Seperti novel Gotik yang menceritakan seorang Janda bangsawan merana, yang ditinggal kekasihnya muda. Brondong itu hanya menggodanya, memanfaatkannya. Sekarang Janda bangsawan itulah aku sendiri.
Bangun usaha pun jatuh bangun. Berganti-ganti profesi sampingan (kubilang sampingan karena terbilang second revenue). Jual makanan, Jual snak, Jual outfit, gamis dll. Semula bisnis kukira gampang, tinggal uplod di IG atau tiktok, dengan sendirinya pembeli datang DM.
Nyatanya sepi. Ketika aku curhat sama Kawan, dia bilang karena pesaingnya banyak, di Tiktok murah-murah. Sedangkan daganganku, karena produk ini menjahit sendiri, beli kain sendiri, jatuhnya harga jadi mahal. Kukira aku menembak pasar premium, tentu bisa. Karena aku sendiri kalau beli baju harus premium, bahannya halus, jahitan bagus, atau menjahit sendiri. Aku mau membeli dengan harga mahal untuk barang bagus. Nyatanya bisnis ini tidak ada dukungan dari teman atau tetangga.
Bisnis butik sepi dengan sendirinya. Aku kembali melakukan usaha baru, buka usaha jasa foto. Kutunggu sampai 4 minggu tidak ada order yang masuk. Ternyata sama aja ya. Apa memang aku tidak berbakat bisnis. Apa memang aku ditakdirkan miskin.
Aku mulai menunda-nunda sholat. Aku malas sholat tepat waktu. Sholat kuundur-undur mepet waktu, dhuhur jam dua siang. Ashar jam lima lebih. Sholat isya kadang ketiduran, sholat dini hari. Aku merasa kacau, pantas saja aku sial.
Berikutnya aku merasa runtuh ketika menyadari, kawan-kawanku sendiri tidak bangga dengan karyaku.
“Tapi teman-teman tidak bangga dengan video-videomu,” Kata temanku. Katanya link video yang kushare, mengganggu aktivitas cahtting grup. Aku merasa runtuh! Berapa biaya yang kukerahkan untuk biaya produksi, sampai untuk diiriku sendiri kapiran (fakir).
Setelah itu mulai kutata hidupku. Bangun pagi shubuh, pergi ke Masjid jamaah. Sedekah subuh, katanya ustad,” Barang siapa sedekah subuh, maka akan dimudahkan dalam urusannya.”
Pernah aku sama sekali tidak memegang uang. Aku tawarkan masakan matang ke teman-teman, Lele Bakar 70 K. Aku berharap dapat memperpanjang nafas dengan uang penjualan itu.
“Esi Lele Bakarnya dibayar ya.” Tagih aku ketika berpapasan di kantor.
“Eh Nik, aku ngga bawa uang cash . Nanti aku transfer ya.”
Lemas sudah aku! Aku yang tidak memegang uang cash, dan punya saldo Bank minimum, sehingga kalau ditransfer pun aku tidak dapat mengambil cash di ATM. Sehingga aku pulang pesan Lele mentah, aku goreng untuk makan siang.
Aku mulai wirid dimudahkan rezeki pagi dan sore. Aku tidak pegang uang cash sama sekali. Padahal Sabtu depan ada agenda shooting, bagaimana nanti untuk makan anak-anak, uang saku anak-anak. Aku wirid kenceng, alhamdulillah ada rezeki tidak terduga. Pencairan honor mengajar, yang memang datangnya suka telat, tak disangka-sangka. Tapi kasus ini mengajariku untuk “Percaya sama Allah”! Allah itu dekat, sedekat kuku, ada di nadi. Allah ada di nadi, menenangkan hati, dan yakin.
