Cerita sebelumnya aku belajar renang dengan berpegangan tangan instruktur. Rasanya renang jadi mudah. Tinggal pegangan tangan instruktur, kaki buka tutup badan meluncur ke seberang. Hal ini berjalan sampai tiga kali pertemuan.
Pertemuan ke empat, instruktur mengomando kalau aku harus coba sendiri. Tampa berpegangan tangan, meluncur sendiri, tumit kaki naik turun, tangan lurus, sebelumnya kaki mancal kuat buat tolakan.
Ternyata begitu kepala masuk, tanpa pegangan, badan seperti tenggelam. Aku takut, sampai di bawah aku menggapai gapai seperti korban banjir.
“Ibu tadi merem pas kepala masuk. Jangan merem, nanti jadi mbayangke tenggelem.” Jelas Pak Yono di atas kolam.
“Apa saya merem tho Pak?”
“Lha tadi merem kelihatan. Lihat bawah, paling di bawah ada air, lantai, daun.”
“Ndak tahu Pak, merem sendiri.”
“Kalau merem nanti ndak tahu di depan ada orang lewat. Tabrakan jadinya.”
Kucoba lagi meluncur, buat tolakan kaki. Tangan siap dibuka, begitu kepala masuk selalu blank. Saking takutnya atau groginya setiap kali kepala masuk, mata merem, pikiran ngeblank. Jadilah gerakan ndak karuan. Gerakan kaki malah bareng dengan buka tangan. Seharusnya gantian, kaki dulu tarik, buka, tutup, kaki lurus. Baru kepala diangkat tarik napas, tangan dibuka lebar. Eee malah jadi barengan.
“Jangan takut bu. Ndak bakal tenggelem. Wong cetek kok.”
“Ya Mbak tahu ini cetek, tapi rasanya seperti tenggelam. Gimana sih caranya supaya ndak takut?”
“Yang tahu ibu sendiri. Harus berani Bu.”
Alhasil latihan ke empat kali ini gagal total. Seperti kembali ke nol. “Kalau pakai ban atau alat dorong gimana Mbak?”
“Nanti ndak bisa hisa Bu. Harus berani sendiri Bu.”
Sampai waktu latihan berakhir aku masih berkutat dengan ketakutanku.
“Coba bu, ganti kaca mata yang bagus. Biar ndak kemasukan air matanya. Biar nanti mata ibu ndak merem di bawah. Selama ibu masih merem, ibu tetep takut.” Saran Pak Yono sebelum aku pulang ke rumah.