oleh Nikmatuniayah
Setiap kali nyetir aku selalu nyeker (tanpa sepatu). Karena pada waktu latihan dianjurkan nyeker biar bisa merasakan tekanan kopling, rem, dan gas. Hingga kini aku masih nyeker dan selalu diejek suami. Bagi dia lucu, nggo opo sepatunan toh yo akhire nyeker. Setiap kali aku nyeker, turun pakai sepatu dia mesti ketawa ngekek.
Suatu ketika aku terpaksa pakai sepatu bertali, karena sepatu yang biasa basah. Lama lama kurasakan tak praktis bongkar pasang, apalagi sepatu bertali.
Siang aku ditelpon Mbak Hesti KGL kalau poto kopi rujukan bapak harus diperbaharui. Untung aku masih punya simpanan poto kopi. Langsung aku pulang nyetir dengan masih bersepatu tali.
Ternyata enak juga pakai sepatu. Tapi karena terbilang masih baru, aku seperti kembali ke level bawah. Jika sebelumnya level 8 pakai sepatu jadi turun level 6. Jalanku melambat karena masih adaptasi. Aku lebih supra berhati hati, tak meliuk liuk seperti sebelumnya. Cuma ada enaknya: tarikan lebih empuk, tekanan lebih kuat, dan tidak nyendal nyendal.
Sampai di KGL kujemput ayah, kubilang kalau aku mulai bersepatu. Boncengan dengan ayah walau bersepatu aku bisa tenang, karena disebelah ada ayah. Kalau ada ayah, walau mulai baru rasanya lebih tenang.
Jalan sampai dipertigaan Peterongan Pasar Kambing, berhenti ada lampu bangjo. Lampu nyala hijau, gas kunyalakan. Mati. Lihat hand rem, oalaa dua, harusnya satu. Gara gara bersepatu jadi grogi. Tenang…
Hand rem kumajukan satu, terus jalan. Alhamdulillah berjalan lancar. Aku pun mencoba menyetir dengan sepatu pantofel yang biasa. Bismillah akhirnya sempurna sudah, aku menyetir dengan bersepatu pantofel. Jadi tak perlu lagi bongkar pasang sepatu.
Ayah aku sudah bisa!